Moment Berkesan Saat Melahirkan

Menjadi seorang ibu adalah dambaan dari setiap wanita yang sudah menikah. Ada perasaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata ketika ada mahluk kecil  yang memanggil saya ibu kemudian menjadikan kita seseorang yang ia jadikan tempat berlindung, mengadu dan merajuk. Tidak merasa terbebani, tapi justru senang dan bersyukur karena merasa dibutuhkan.

Kehamilan pertama tidak berjalan mulus, karena harus keguguran pafa usia kehamilan sekira delapan pekan. Alhamdulillah.. tidak terlalu lama, tiga bulan setelah peristiwa menyedihkan tersebut,  saya dinyatakan positif hamil lagi. Kali ini lebih hati+ hati dalam menjaga kehamilan. Baik dari segi aktifitas maipun asupan makanan, benar-benar kami pethatikan. 

Tidak ada drama mual-mual dan muntah pada kehamilan saya. Bahkan sampai usia kehamilan lima bulan, tak banyak orang yang tahu kalau saya hamil. Berat badan tidak tetlalu naik signfikan. Praktis, mitos tentang ibu hamil tidak saya rasakan, hehe he. Tak terlihat perubahan fisik yang mencolok ketika saya hamil. Ternyata, sampai usia kehamilan sembilan bulan dan melahirkan, betat badan saya hanya naik delapan kilogram. Padahal anak pertama waktu itu, lahir dengan berat badan 3.250 kg. 

Kelahiran yang maju dua pekan, cukup merepotkan kami waktu itu. Malam itu, kami baru saja datang dari luar kota setelah mudik lebaran.
Pukul 20.30 kami baru sampai rumah. Perjalanan yang bisanya bisa ditempuh dengan empat serwngah jam, hari itu molor menjadi hampir tujuh jam karena macet lumayan panjang dindaerah Magelang. 

Setelah beres-beres, sekira pukul 23.00 saya baru bisa berangkat tidur. 
Tapi belum lama tidur, tiba- tiba terbangun karena terasa ingin buang air kecil. Anehnya, setelah itu perut tetada sakit sekali. Mencoba untuk pejamkan mata, tapi tidak bisa karena semakin bertambah sakit rasanya. Bahkan saking sakitnya, tak sengaja saya metemas rambut suami yang sedang tertidur pulas. Ia terbangun karena merasa ada yang menjambak rambutnya. 

Sakit yang teramat sangat dan baru pertama saya rasakan, membuat saya turun dari kasur, menggelosor duduk di lantai bersandar di kasur. Kami akhirnya berkesimpulan kalau ini adalah waktunya saya melahirkan. Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Suami memutuskan untuk berankat ke Rumah Sakit tempat saya cek kehamilan selama ini. Dengan tertath saya menyiapkan  segala perlengkapan untuk dibawa ke Rumah Sakit.

Meski suami sudah melajukan kendaraannya tidak terlalu kencang , saya masih saja cerewet untuk memperlambatnya. Suami menghentikan mobil tepat di depan pintu UGD Rumah Sakit agar saya tidak terlalu jauh berjalan. Seorang perawat jaga berdiri di balik meja resepsionis berdiri menyambut kami. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 01.45.  Perawat jaga tersebut memperhatikan kami sekilas. Melihat perut saya yang besar, tanpa banyak bicara, perawat laki-laki yang sedang piket tersebut  segera mengarahkan kami dan mengantar ke ruang bersalin. Di sana, ada dua perawat yang menyambut kami. Sepertinya, satu di antaranya seorang bidan. Setelah dicek, ternyata sudah bukaan enam. 

Saya terus dimotifasi dan disemangati oleh dua perawat tersebut. Apalagi setelah dicek, sudah lengkap bukaan sepuluh. Diberinya saya minum teh manis, katanya untuk tambah tenaga. Tapi seolah percuma saja. Menahan rasa sakit yang amat sangat, ditambah kelelahan setelah menempuh petjalanan luar kota, membuat saya merasa lemas tak bertenaga. Terasa  banyak keringat membasahi tubuh. Kata suami, waktu itu wajah saya terlihat sangat putih, pucat pasi. Membuat dia sedikit panik juga.

Setelah berjalan beberapa waktu tak terlihat perkembangan yang positif, akhirnya perawat menawari kami untuk menghubungi dokter spesialis kandungan yang diharapkan bisa membantu persalinan. Setelah perawat menghubungi sang dokter, sekira tiga puluh menitan datanglah beliau di TKP. Kulihat jam di dinding menunjukan pukul tiga dini hari lebih sedikit.
" Sabar ya bu.. " ucap sang dokter dengan suara berwibawa berusaha menenangkan saya.
"Kepalanya sudahb kelihatan, sudah mau keluar." Jelasnya lagi.

Selanjutnya kulihat perawat menyodorkan selembar kertas kepada suami dan memintanya untuk tanda tangan. Ternyata akan diambil tindakan vakum untuk membantu kelahiran bayi kami. Suami menyetujui saja. Apalagi melihat kondisi saya yangbsemakin lemah. Sesaat kulihat kesibukan kecil perawat menyiapkan peralatan yang akan digunakan.

Alhamdulillah proses persalinan berjalan lancar. Sekitar pukul empat lebih lima belas menit, ku dengar suara tangis bayi. Tidak begitu lantang tangisnya. Seperti ada lendir yang menganggu suara tangisnya.
Kata suami, perawat memasukan selang ke mulut bayi, mungkin untuk memberaihkan lendir di jalannpernafawannya.
Setelah bayi dibersihkan dan di dandani, suami segera mendekat ke box tempat bayi kami untuk mengazaninya. Satu hal yang saya ikut membayangkan ekspresinya, ketika suami bercerita kalau dia hampir saja menangis terharu ketika melihat bayi merah anaknya dinhadapannya. Sama sepwrti yang saya rasakan ketika melihat adik yang baru lahir tanpa sehelai benangpun, menggeliat di atas tampah.

Sebuah pengalaman yang cukup menegangkan bagi suami. Pengalaman pertama istri melahirkan. Apalagi kami yang sama-sama perantauan,  jauh dari saudara, dan waktunya cukup mendadak karena perkiraannya masih setengah bulan lagi.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Parenting

Berburu Malam Lailatul Qodar

Bunda Pekerja dan Daycare